Adab Yang Dipolitisasi dan Kesalehan Yang Dihigienisasi Dalam Reproduksi Feodalisme Pendidikan Keagamaan

Redaksi - Nusantara

DUMAI — Beberapa waktu lalu, tayangan Xpose Uncensored yang disiarkan oleh TRANS7 tentang Pondok Pesantren Lirboyo memicu kontroversi luas. Tayangan itu dinilai menampilkan pesantren secara reduktif, menggambarkan sistemnya sebagai ruang penundukan ekstrem hingga menimbulkan gelombang kecaman dan tagar #BoikotTrans7 di media sosial. Namun, di balik hiruk-pikuk polemik tersebut, ada pertanyaan yang lebih mendalam dan substantif untuk kita renungkan: mengapa narasi tentang relasi kuasa dan ketundukan dalam pesantren begitu mudah memantik perdebatan emosional? Dan apakah sesungguhnya, tanpa disadari, kita memang tengah hidup di bawah bayang-bayang feodalisme pendidikan yang dibungkus dengan kata “adab”?

Dalam lanskap pendidikan keagamaan di Indonesia, terutama di lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren, kata adab menempati posisi yang sangat luhur. Ia dipandang bukan sekadar norma sopan santun, melainkan fondasi spiritual yang menentukan keberkahan ilmu. Namun, di balik penghormatan yang mendalam terhadap adab itu, terdapat paradoks yang jarang dibicarakan, ketika adab yang suci itu dijadikan tameng bagi tatanan sosial yang feodal,suatu sistem yang menempatkan ketundukan di atas kesadaran, dan ketaatan di atas keberanian berpikir.

Feodalisme dalam pendidikan keagamaan tidak selalu lahir dari kesengajaan. Ia tumbuh dari kesadaran kultural yang telah lama berakar, dari tafsir yang melebihkan posisi guru hingga hampir menyerupai figur sakral. Dalam pandangan tradisional, guru adalah pewaris kebenaran, maka menentang guru seolah berarti menentang kebenaran. Di sinilah garis antara hormat dan takluk menjadi kabur, dan adab kehilangan fungsi etiknya yang sejati. Ia tidak lagi menjadi cermin kebajikan, tetapi menjelma menjadi struktur sosial yang memelihara jarak kuasa.

Kita tidak sedang menuduh pesantren sebagai ruang kelaliman, sebab pesantren juga adalah ruang lahirnya banyak intelektual besar, tokoh bangsa, dan ulama berjiwa luhur. Namun, di sisi lain, kita perlu jujur bahwa sebagian struktur sosial di dalamnya masih memelihara residu feodalisme yang halus, bahkan tanpa disadari oleh para penghuninya. Santri dididik untuk patuh, bukan selalu untuk berpikir; untuk menerima, bukan selalu untuk menguji. Rasa takut disamarkan sebagai bentuk hormat, dan keheningan dianggap lebih mulia daripada pertanyaan.

Dalam konteks seperti ini, adab dipolitisasi bukan dalam arti politik praktis, melainkan politik makna. Ia menjadi alat legitimasi kultural bagi relasi kuasa yang tidak seimbang. Ketika murid diam karena takut menyalahi adab, guru pun secara simbolik memperoleh otoritas yang nyaris tak tersentuh. Relasi hierarkis yang semestinya bersifat fungsional berubah menjadi relasi ideologis. Maka, ketika seseorang mencoba membuka ruang kritik terhadap sistem, suara itu sering dilabeli sebagai “kurang ajar”, “tidak tahu adab”, atau “tidak ikhlas menuntut ilmu”. Padahal dalam epistemologi Islam sendiri, ilmu tumbuh dari dialog, dari keberanian bertanya, dan dari keikhlasan untuk mencari kebenaran, bukan dari kepatuhan tanpa nalar.

Lebih jauh, kesalehan di lingkungan keagamaan kerap diubah menjadi kesalehan yang “higienis” kesalehan yang bersih dari perdebatan, steril dari kritik, dan hanya menonjolkan tampilan lahiriah. Kesalehan seperti ini menjanjikan kenyamanan batin, tetapi sering mengorbankan kejujuran intelektual. Ia menuntut keseragaman dalam beriman, bukan keikhlasan dalam berpikir. Kesalehan yang higienis menciptakan ruang sosial yang tertib, tapi kering dari refleksi; damai di permukaan, tapi menindas di dalam.

Dalam struktur seperti ini, feodalisme tidak lagi tampak sebagai bentuk eksploitasi klasik, melainkan sebagai “keheningan yang diatur”. Murid tunduk dengan sukarela, guru memerintah dengan lembut, dan semua tampak berjalan harmonis. Namun harmoni itu sering kali dibangun di atas pengorbanan: pengorbanan nalar kritis, otonomi moral, dan keberanian untuk berbeda. Feodalisme yang lahir dari rasa cinta kepada guru jauh lebih sulit dilawan daripada feodalisme yang lahir dari kekuasaan politik, sebab ia menyaru sebagai kebajikan.

Namun, menyadari paradoks ini tidak berarti menolak tradisi pesantren. Justru sebaliknya, kesadaran kritis ini adalah bentuk penghormatan yang paling tulus terhadap warisan pesantren itu sendiri. Sebab pesantren sejatinya adalah ruang kebebasan spiritual dan keilmuan, tempat di mana manusia belajar mengenal Tuhan sekaligus mengenal dirinya. Menghidupkan kembali semangat kritis di pesantren bukan berarti mengotori adab, tetapi mengembalikannya pada makna aslinya: kesadaran etis untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk menempatkan guru sebagai manusia yang mulia namun tetap manusia, bukan makhluk setengah ilahi.

Feodalisme di pesantren lahir bukan karena niat jahat, melainkan karena keinginan menjaga kesucian hubungan guru dan murid. Namun, kesucian yang tidak diimbangi refleksi justru melahirkan pengultusan. Ketika ketundukan menjadi tolok ukur kesalehan, ruang pembebasan pun tertutup. Pendidikan akhirnya tidak lagi membentuk manusia yang berpikir merdeka, melainkan manusia yang tunduk atas nama kesopanan spiritual.

Kita membutuhkan reformasi kultural, bukan pemberontakan emosional. Adab harus dibebaskan dari politik makna yang menindas, dan kesalehan harus dibersihkan dari pencitraan higienis yang memenjarakan. Guru perlu dididik untuk melihat dirinya bukan sebagai pusat kebenaran, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan intelektual dan spiritual murid. Di sisi lain, murid harus belajar bahwa menghormati bukan berarti berhenti berpikir, dan mempertanyakan bukan berarti membangkang.

Di masa depan, pendidikan keagamaan hanya akan tetap relevan jika ia mampu berdiri di antara dua kutub yang tampak berlawanan: antara ketaatan dan kebebasan, antara kesalehan dan nalar, antara cinta dan kritik. Feodalisme hanya akan gugur ketika penghormatan dan kesadaran dapat berdiri berdampingan, ketika tradisi tidak lagi dijaga dengan ketakutan, tetapi dengan pemahaman.

Adab yang sejati bukanlah ketaatan yang membisu, melainkan kesadaran untuk memahami mengapa kita menghormati. Kesalehan yang sejati bukanlah kesalehan yang steril dari pertanyaan, melainkan kesalehan yang berani menatap kenyataan dan mengoreksi dirinya sendiri. Bila pendidikan keagamaan berani melangkah ke arah itu, maka pesantren tidak lagi akan menjadi simbol ketertundukan, tetapi mercusuar kebebasan spiritual dan intelektual.

Dan pada saat itulah, kita tidak lagi perlu memisahkan antara hormat dan kritis, antara suci dan sadar, antara guru dan murid, karena semuanya akan berdiri sejajar di hadapan satu kebenaran yang sama: bahwa belajar adalah jalan menuju kemerdekaan jiwa.(By : Rahman Juni Artha)